... السلام عليكم

Kamis, 01 Januari 2015

Kisah Sukus dan Tukus




Ini adalah kisah ketika keserakahan menjadi ideologi.
Syahdan di suatu samudera terdapat dua pulau yang bertetangga. Sebut saja Pulau Aya dan Pulau Baya. Di pulau Aya, suku Sukus hidup sejahtera. Mereka dikarunia daratan yang subur. Mereka hidup bercocok tanam. Pertanian mereka menghasilkan aneka sayuran dan buah-buahan tropis. Ikan dan sumberdaya laut sangat melimpah. Tidak hanya itu,
Pulau Aya terkenal dengan panoramanya yang indah. Gemericik air terjun bisa ditemui di banyak tempat. Sungai-sungainya yang jernih juga menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran bila pulau ini menjadi tempat tujuan para pelancong dan wisatawan lokal maupun luar pulau.  Masyarakat Sukus dikenal memiliki peradaban yang cukup maju. Mereka beruntung, pulau yang mereka tempati menghasilkan emas. Dan mereka bekerja keras untuk mendapatkan logam mulia ini. Hampir semua anggota suku memiliki emas dan menyimpannya sebagai simbol harta kekayaan.  Selain sebagai simbol peradaban, emas juga berfungsi sebagai alat transaksi. Sejak Saka, sang ketua suku, mencetak koin emas, maka semua transaksi jual beli yang semula dilakukan dengan barter beralih dan diukur dengan emas. Berdagang pun menjadi lebih mudah dan simpel.                       
Meskipun begitu, mereka tidak mendewa-dewakan emas sebagai satu-satunya pencapaian. Kehidupan sosial mereka tampak lebih penting. Ini bisa dilihat-dari cara mereka yang saling tolong-menolong. Ketika anggota suku perlu membangun rumah baru karena rumah lama tersapu ombak. Yang berarti menguras emas simpanannya. Anggota-anggota suku lainnya dengan suka rela meminjamkan emas miliknya. Hebatnya. Tanpa charge atau tambahan apapun. Mereka juga bergotong royong satu sama lain dengan ikhlas. Anggota suku terbiasa bahu-membahu mengatasi persoalan bersama. Boleh dikata, mereka hidup rukun dan damai.  Sementara pulau tetangganya. Pulau Baya. Didiami suku Tukus. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah lahan di sawah atau ladang dan memelihara lemak. Sebagian lagi yang memiliki keterampilan khusus, memproduksi kerajinan tangan. 
Dibandingkan suku Sukus. Mereka lebih sederhana. Mereka masih menggunakan sistem barter dalam transaksi keseharian. Yang menghasilkan padi menukar berasnya dengan kerajinan tangan atau sebaliknya. Boleh dibilang secara ekonomi, kesejahteraan mereka di bawah suku Sukus. Mereka memang kebanyakan hanya pekerja kasar. Mereka tidak memiliki pusat kota yang indah dan maju seperti halnya Sukus. Sesekali mereka menjual hasil bumi dan handicraft mereka ke suku Sukus. Mereka, apalagi para wanitanya, sangat senang menerima koin emas sebagai jasa dari padi atau kerajinan tangan yang mereka hasilkan. Meskipun berbeda dalam hal kesejahteraan. Ada satu persamaan menonjol di antara Sukus dan Tukus. Mereka sama-sama hidup damai, rukun dan saling tolong-menolong. Mereka sering bersilaturahmi dan menjalankan ritual agamanya dengan tenang.  Sampai akhirnya datang tamu istimewa ke suku Sukus. Berpenampilan perlente. Dua orang asing turun dari kapal yang berlabuh di pulau Aya. Gago dan Sago, begitu mereka mengenalkan diri saat dijamu oleh Saka, pimpinan suku Sukus. Kedua tamu ini disambut dengan suka cita. Saka dan para pembantunya sangat terkesan dengan kisah Gago dan Sago yang mengaku sudah melanglang buana. Sebagai bukti, kedua orang asing itu lalu memamerkan koin emas asing yang mereka kumpulkan dari berbagai lempat perlawalan.  Satu hal lagi -dan ini yang paling menarik bagi Saka dan punggawanya- adalah kertas yang dinyatakan sebagai uang. Gago dan Sago lalu memperkenalkan bagaimana uang kertas jauh lebih efisien ketimbang emas yang sehari-hari mereka pakai. Itulah kenapa uang kertas ini sudah dipakai di negara-negara yang jauh lebih maju dibanding lempat mereka tinggal. Gago dan Sago yang mulai mendapat respon positif semakin bergairah menjelaskan uang kertas ini kepada sang tuang mmah. Lalu, mereka memperkenalkan mesin pencetak uang. 
"Gambar Anda nanti akan terpampang dalam lembar uang kertas ini," Gago menunjuk uang kertas sembari menyunggingkan senyum kearah Saka. 
"Benarkah?" sela Saka berbinar. Dalam hati Saka girang bukan kepalang. Seumur hidupnya, tidak ada orang yang memberikan penghormatan sebagaimana dua tamu istimewanya. 
"Seratus persen Anda akan menjadi orang terkenal!" Sago menimpali sembari mengangkat dua ujung jempol tangannya ke atas. Dan pujian itu pun melambungkan angannya. Pancingan Gago dan sago mengena. Gago dan Sago pun semakin antusias meyakinkan suku Sukus bahwa mata uang kertas akan sangat membantu membuat perekonomian mereka efisien.  Dan untuk kepentingan itu, sebuah institusi bernama bank perlu didirikan. Bank akan meyimpan deposit koin emas mereka yang menganggur (idle). Lalu uang deposan ini -sebagai taktik, ya hanya sekadar taktik- bisa dipinjamkan kepada anggota suku lainnya yang memerlukan. Dengan demikian, kesannya semua sumber daya yang ada menjadi optimal karena dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif.  Suku Sukus yang terkenal suka membantu, sangat impresif dengan ide itu. Mereka pikir, lembaga ini sangat luar biasa karena bisa melanjutkan tradisi mereka untuk membantu orang lain. Jadilah ide itu diamini dan dilanjutkan dengan mendirikan bangunan yang difungsikan sebagai bank yang pertama di Pulau Aya.  Upacara pembukaan perdana Bank Aya, sebut aja begitu, sangat meriah. Orang sepulau tumplek blek jadi satu merayakan hari bersejarah itu. Sebagian besar dari mereka sudah membawa koin-koin emas yang selama ini hanya disimpan di bawah bantal. Setiap satu koin emas yang mereka simpan, mereka mendapatkan ganti uang kertas dengan jaminan bila sewaktu-waktu mereka menghendaki, mereka bisa menukarkan kembali uang kertas yang saat ini mereka terima dengan koin emas yang pernah mereka simpan.  Hampir semua anggota suku Sukus menyimpan koin emas mereka di Bank Aya. Sejumlah 100.000 lembar uang kertas diserahkan, yang berarti Bank Aya -yang dimotori Gago dan Sago- menerima 100.000 koin emas. Tak terasa, akhirnya penduduk negeri Pulau Aya begitu menikmati uang kertas itu. Mereka merasakan dengan menggunakan uang kertas itu, transaksi yang mereka lakukan jauh lebih simpel dan nyaman.  Praktis semakin jarang orang yang menggunakan koin emas dalam transaksi sehari-hari. Sampai akhirnya uang kertas menjadi mata uang dominan. Kenapa mereka begitu? Karena selain lebih mumudahkan transaksi, mereka juga dengan mudah menukarkan uang kertas mereka dengan koin emas jika mereka memerlukan. Untuk yang satu ini, Gago dan Sago sangat menjaga kepercayaan. Setiap kali ada yang mau menukarkan, kali itu juga koin emas diberikan.
Demikian seterusnya sehingga lama-lama orang tidak khawatir dengan uang kertas miliknya. Toh kalau mereka mau, mereka bisa menukarkannya sepanjang waktu.  Perkembangan ini ternyata menjadi berita di mana-mana. Suku Tukus yang mendiami pulau Baya, diam-diam memuji dan ingin sekali praktik yang sama juga diterapkan di pulau mereka. Bayangkan, dari semula melakukan jual beli dengan cara barter, tiba-tiba ada sistem super canggih yang bisa membantu mereka melakukan transaksi dengan sangat mudah dan efisien.  Tak sabar, mereka mengutus duta menemui Gago dan Sago. Mereka minta agar sistem yang mereka bawa juga bisa diterapkan di Pulau Baya. Gago menyanggupi. Dia meminta Sago untuk membuka cabang Bank Aya di Pulau Baya dan mengangkat Sago sebagai manajernya. Hanya bedanya, di sini hanya sedikit penduduknya yang memiliki koin emas. 
"Anda tidak perlu kecil hati," kata Sago menghibur. "Tanpa koin emas pun Anda bisa mengenyam kenikmatan sebagaimana tetangga pulau Anda," dia bernanis-manis menerangkan. Tentu saja keterangan ini disambut gembira oleh penduduk Pulau Baya. Mulailah Sago membagikan uang kertas. Ada 100 kepala keluarga di pulau itu. Setiap kepala keluarga diberikan 100 lembar uang. Jadi total uang yang tcrsirkulasi di pulau itu mcncapai 100.000.
"Karena Anda tidak menyimpan koin emas seperti halnya penduduk pulau seberang, sebagai gantinya. Anda bisa menggunakan uang yang telah saya bagikan."  Apa yang dikatakan Sago itu disambut dengan senang. Tepuk tangan riuh membahana. Mereka bersyukur, sebentar lagi negeri mereka tidak akan sekolot dan seprimitif tempo hari. Namun, kemeriahan itu sempat hening ketika Sago menyela, "Harap diingat. Uang yang saya bagikan tadi tidak gratis. Ini adalah pinjaman. Nanti setelah setahun dari saat ini, Anda harus mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan." 
"Kenapa harus ada tambahan 100? Kenapa tidak mengembalikan sejumlah yang kami pinjam?" seorang pemuka suku Tukus menyela. 
"Betul Anda memang hanya meminjam 1000. Yang 100 itu adalah untuk membayar jasa yang kami sedikan," Sago dengan senyum lepas menjelaskan. Meski ada yang masih mengganjal, penjelasan Sago cukup tepat untuk membungkam naluri kritis warga Tukus. Itu terlihat dari tak surutnya minat warga Tukus untuk mengambil tawaran Sago. Paling tidak, mereka bisa merasakan mudahnya bertransaksi dengan uang kertas. Dan yang lebih penting lagi, menikmati status sebagai warga dunia baru, Modern dan prestisius.
Dari pengamatan Gago, di pulau Aya, rata-rata hanya sekitar 10 persen uang kertas yang ditukarkan ke koin emas pada setiap waktu. Sisanya, 90 persen tetap berada di kotak penyimpanan di Bank Aya.
Hanya sedikit dari mereka yang menukarkan uang kertasnya dengan koin emas. Gago lalu mencetak uang kertas lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung hingga 900.000. Dalam kalkulasinya, jumlah ini, ditambah jumlah uang kertas yang telah dibagikan sebelumnya, totalnya 1.000.000. Kalau ada orang yang datang hendak menukarkan uang kertas ini, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah hanya 10 persen saja. Nah, kalau ini yang terjadi, bukankah ia menyimpan 100.000 koin emas, yang tidak lain adalah koin yang telah disetor oleh seluruh penduduk Sukus? Kalau hitung-hitungan pahit itu benar-benar terjadi, bukankah cadangan koin emas yang diperlukan sudah cukup?  Fantastic! Creating Money from nothing! Hanya orang-orang seperti Gago yang bisa. Ia pinjamkan 900.000 uang kertas yang baru dicetaknya kepada warga Sukus yang memerlukan. Kalau di pulau Baya, Sago mengutip tambahan ekstra sebesar 10 persen dari pokok, nah Gago meningkatkan kutipan hingga 15 persen. Artinya kalau seseorang meminjam 1000 lembar uang kertas. Di akhir tahun ia harus mengembalikan 1150 uang kertas. Di mana 150-nya adalah charge dari layanan yang diberikan. 
Hari pun berganti. Bulan berjalan begitu cepat. Tak terasa setahun pun lewat. Apa yang terjadi dengan suku Sukus dan Tukus? Pelan tapi pasti. Penduduk pulau Aya merasakan harga-harga kebutuhan barang dan jasa mereka naik. Mereka tidak tahu apa penyebabnya. Banyak di antara orang yang meminjam uang dari Gago itu mengalami gagal bayar. Mereka bukan orang pemalas atau penganggur. Tapi meski telah bekerja keras, mereka masih kesulitan melunasi utang berikut bunganya. Dan mereka memang tidak akan pernah bisa. Bahkan ketika mereka menjadikan 24 jam untuk bekerja. Lihatlah. Uang yang dipinjamkan 900.000 bila ditambah bunga 15 persen. Berarti senilai 135.000 atau jumlah total mencapai 1.135.000. Padahal. Jumlah uang yang beredar banya 1.000.000 (100.000 diberikan sebagai ganti 100.000 keping koin emas. Ditambah uang baru 900.000 yang dicetak Gago). 
Sistem yang dikenalkan dua agen inilah yang pertama kali mengubah watak bisnis kekeluargaan menjadi bisnis yang individual kompetitif. Kehidupan sosial mereka yang harmonis, penuh toleransi dan tolong menolong, perlahan luntur. Masing-masing kepala -apalagi yang berhutang- harus bekerja keras demi mengejar uang untuk melunasi kewajibannya. Sehingga, ketika ada ombak besar menyapu sebagian rumah penduduk. Kebiasaan mereka untuk saling bantu luntur, Prinsip saling membantu berubah menjadi time is money. Membantu orang boleh, tapi harus ada kompensasinya: uang. Sisi kehidupan sosial yang akrab perlahan berubah individual. Masing-masing mulai terbebani untuk berusaha keras untuk kepentingan masing-masing. Hal yang sama pun dialami oleh Suku Tukus. Awalnya mereka tidak menyadari. Namun, lambat laun mereka merasakan perubahan. Kebutuhan pokok yang dulunya cukup ditukar dengan barang kerajinan atau sebaliknya, kini mulai sedikit bermasalah. Mereka tidak tahu kenapa tanpa terasa, dengan berlalunya waktu, harga-harga terus merambat naik. Padahal, mereka telah membanting tulang dan bekerja lebih keras. Kerjasama antar warga yang semula menjadi tradisi, lama-kelamaan juga mulai luntur. Mereka menjadi egois, diburu kebutuhan masing-masing. Toh di akhir tahun tidak semua bisa membayar kewajibannya. Seperti dialami suku Sukus, suku Tukus pun anggotanya banyak yang default alias gagal bayar. Kepada para penunggak sebagian ada yang dipaksa membayar. Caranya, dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah, ternak dan maupun harta benda lainnya pun segem berpindah tuan. Sementara penunggak yang mempunyai hubungan baik dengan Gago dan Sago diberi kesempatan untuk memperpanjang masa angsuran. Kebetulan Taka, pimpinan suku Tukus, salah seorang di antara penunggak. Maka untuk atas nama "kebaikan hati" Sago bukan saja memberikan tambahan waktu mengangsur utang. Tapi juga memberikan tambahan utang baru. Kenapa? Dia beralasan utang ini biar bisa dipakai untuk melancarkan kegiatan produktifnya. Namun alih-alih bisa membayar periode berikutnya, Taka kembali tak bisa melunasi utangnya.  Malu karena tak bisa membayar kewajiban, Taka menarik diri dan menghindari bertemu dengan Sago. Ia mulai kehilangan kepercayaan diri. Kewibawaannya sebagai kepala Suku Tukus berbalik ke titik nadir. Sementara, Sago yang semula berlagak membantu, kini tinggal melakukan eksekusi. Ia semakin kaya. Ia pun berubah lagaknya Tuan Besar.
Gago dan Sago yang semula datang ke Aya dan Baya dengan modal mesin pencetak uang, kini telah menjadi pemilik hampir semua kekayaan di dua pulau tersebut. Mereka menguasai ekonomi dan properti. Lambat laun, dengan uang, mereka pun beroleh kekuasaan baru: menguasai politik negeri itu.  Sementara masyarakat dua pulau itu tinggallah sebagai pekerja kasar. Kemiskinan tiba-tiba seperti menjadi endemik yang terus menyebar cepat. Mereka bekerja keras, untuk hasil yang sedikit. Mereka kehilangan waktu untuk saudara dan tetangga. Mereka semakin jarang melakukan upacara keagamaan. Lebih parah lagi, mereka semakin tidak perhatian satu sama lain.  Kejahatan yang semula hanyalah cerita yang sering mereka dengar dari negara antah berantah, kini menghampiri: marak di depan hidung mereka sendiri. Karena tidak bisa bayar utang, mereka mengorbankan anak dan bahkan istrinya untuk diperbudak. Prostitusi yang semula begitu tabu bagi mereka, seperti menjadi budaya baru. Semua budaya yang datang dari Gago dan Sago, dianggap superior. Budaya lokal pun lambat laun punah. Gago dan Sago telah menguasai semua, tak ada yang tersisa: ekonomi, budaya, kekuasaan dan keadilan yang bisa mereka beli melalui uang.  Namun ini bukan akhir petualangan mereka. Mereka tak hanya ingin menaklukkan dua pulau Aya dan Baya. Mereka ingin semua pulau di dunia berada dalam pengaruh kekuasaan mereka. Target mereka bukan untuk menaklukkan tentara musuh di negara-negara jauh. Tapi, menaklukkan ekonomi mereka. Membuat mereka terkesan, lalu ketika saatnya tiba, mencekik mereka dengan sekali hentak: melalui uang kertas tanpa jaminan, aturan cadangan 10 persen dan bunga.



Dikutip dari buku “Satanic Finance” karya A. Riawan Amin.
Diadaptasi dari buku The Theft of Nations (2004) karangan Ahamad Kameel Mydin Meera  

0 komentar:





Terima kasih. Semoga bermanfaat.
... والسلامعليكم

Kacamata

 

Ardiarti Bangun Wijaya Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez