Ini
adalah kisah ketika keserakahan menjadi ideologi.
Syahdan
di suatu samudera terdapat dua pulau yang bertetangga. Sebut saja Pulau Aya dan
Pulau Baya. Di pulau Aya, suku Sukus hidup sejahtera. Mereka dikarunia daratan
yang subur. Mereka hidup bercocok tanam. Pertanian mereka menghasilkan aneka
sayuran dan buah-buahan tropis. Ikan dan sumberdaya laut sangat melimpah. Tidak
hanya itu,
Pulau Aya terkenal dengan panoramanya yang indah. Gemericik air terjun bisa ditemui di banyak tempat. Sungai-sungainya yang jernih juga menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran bila pulau ini menjadi tempat tujuan para pelancong dan wisatawan lokal maupun luar pulau. Masyarakat Sukus dikenal memiliki peradaban yang cukup maju. Mereka beruntung, pulau yang mereka tempati menghasilkan emas. Dan mereka bekerja keras untuk mendapatkan logam mulia ini. Hampir semua anggota suku memiliki emas dan menyimpannya sebagai simbol harta kekayaan. Selain sebagai simbol peradaban, emas juga berfungsi sebagai alat transaksi. Sejak Saka, sang ketua suku, mencetak koin emas, maka semua transaksi jual beli yang semula dilakukan dengan barter beralih dan diukur dengan emas. Berdagang pun menjadi lebih mudah dan simpel.
Pulau Aya terkenal dengan panoramanya yang indah. Gemericik air terjun bisa ditemui di banyak tempat. Sungai-sungainya yang jernih juga menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran bila pulau ini menjadi tempat tujuan para pelancong dan wisatawan lokal maupun luar pulau. Masyarakat Sukus dikenal memiliki peradaban yang cukup maju. Mereka beruntung, pulau yang mereka tempati menghasilkan emas. Dan mereka bekerja keras untuk mendapatkan logam mulia ini. Hampir semua anggota suku memiliki emas dan menyimpannya sebagai simbol harta kekayaan. Selain sebagai simbol peradaban, emas juga berfungsi sebagai alat transaksi. Sejak Saka, sang ketua suku, mencetak koin emas, maka semua transaksi jual beli yang semula dilakukan dengan barter beralih dan diukur dengan emas. Berdagang pun menjadi lebih mudah dan simpel.
Meskipun
begitu, mereka tidak mendewa-dewakan emas sebagai satu-satunya pencapaian.
Kehidupan sosial mereka tampak lebih penting. Ini bisa dilihat-dari cara mereka
yang saling tolong-menolong. Ketika anggota suku perlu membangun rumah baru
karena rumah lama tersapu ombak. Yang berarti menguras emas simpanannya. Anggota-anggota
suku lainnya dengan suka rela meminjamkan emas miliknya. Hebatnya. Tanpa charge
atau tambahan apapun. Mereka juga bergotong royong satu sama lain dengan
ikhlas. Anggota suku terbiasa bahu-membahu mengatasi persoalan bersama. Boleh
dikata, mereka hidup rukun dan damai.
Sementara pulau tetangganya. Pulau Baya. Didiami suku Tukus. Kebanyakan
penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah lahan di sawah atau ladang dan
memelihara lemak. Sebagian lagi yang memiliki keterampilan khusus, memproduksi
kerajinan tangan.
Dibandingkan
suku Sukus. Mereka lebih sederhana. Mereka masih menggunakan sistem barter
dalam transaksi keseharian. Yang menghasilkan padi menukar berasnya dengan
kerajinan tangan atau sebaliknya. Boleh dibilang secara ekonomi, kesejahteraan
mereka di bawah suku Sukus. Mereka memang kebanyakan hanya pekerja kasar.
Mereka tidak memiliki pusat kota yang indah dan maju seperti halnya Sukus.
Sesekali mereka menjual hasil bumi dan handicraft mereka ke suku Sukus. Mereka,
apalagi para wanitanya, sangat senang menerima koin emas sebagai jasa dari padi
atau kerajinan tangan yang mereka hasilkan. Meskipun berbeda dalam hal
kesejahteraan. Ada satu persamaan menonjol di antara Sukus dan Tukus. Mereka
sama-sama hidup damai, rukun dan saling tolong-menolong. Mereka sering
bersilaturahmi dan menjalankan ritual agamanya dengan tenang. Sampai akhirnya datang tamu istimewa ke suku
Sukus. Berpenampilan perlente. Dua orang asing turun dari kapal yang berlabuh
di pulau Aya. Gago dan Sago, begitu mereka mengenalkan diri saat dijamu oleh Saka,
pimpinan suku Sukus. Kedua tamu ini disambut dengan suka cita. Saka dan para
pembantunya sangat terkesan dengan kisah Gago dan Sago yang mengaku sudah
melanglang buana. Sebagai bukti, kedua orang asing itu lalu memamerkan koin emas
asing yang mereka kumpulkan dari berbagai lempat perlawalan. Satu hal lagi -dan ini yang paling menarik
bagi Saka dan punggawanya- adalah kertas yang dinyatakan sebagai uang. Gago dan
Sago lalu memperkenalkan bagaimana uang kertas jauh lebih efisien ketimbang
emas yang sehari-hari mereka pakai. Itulah kenapa uang kertas ini sudah dipakai
di negara-negara yang jauh lebih maju dibanding lempat mereka tinggal. Gago dan
Sago yang mulai mendapat respon positif semakin bergairah menjelaskan uang
kertas ini kepada sang tuang mmah. Lalu, mereka memperkenalkan mesin pencetak
uang.
"Gambar
Anda nanti akan terpampang dalam lembar uang kertas ini," Gago menunjuk
uang kertas sembari menyunggingkan senyum kearah Saka.
"Benarkah?"
sela Saka berbinar. Dalam hati Saka girang bukan kepalang. Seumur hidupnya,
tidak ada orang yang memberikan penghormatan sebagaimana dua tamu
istimewanya.
"Seratus
persen Anda akan menjadi orang terkenal!" Sago menimpali sembari
mengangkat dua ujung jempol tangannya ke atas. Dan pujian itu pun melambungkan
angannya. Pancingan Gago dan sago mengena. Gago dan Sago pun semakin antusias
meyakinkan suku Sukus bahwa mata uang kertas akan sangat membantu membuat
perekonomian mereka efisien. Dan untuk
kepentingan itu, sebuah institusi bernama bank perlu didirikan. Bank akan
meyimpan deposit koin emas mereka yang menganggur (idle). Lalu uang deposan ini
-sebagai taktik, ya hanya sekadar taktik- bisa dipinjamkan kepada anggota suku
lainnya yang memerlukan. Dengan demikian, kesannya semua sumber daya yang ada
menjadi optimal karena dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif. Suku Sukus yang terkenal suka membantu,
sangat impresif dengan ide itu. Mereka pikir, lembaga ini sangat luar biasa
karena bisa melanjutkan tradisi mereka untuk membantu orang lain. Jadilah ide
itu diamini dan dilanjutkan dengan mendirikan bangunan yang difungsikan sebagai
bank yang pertama di Pulau Aya. Upacara
pembukaan perdana Bank Aya, sebut aja begitu, sangat meriah. Orang sepulau
tumplek blek jadi satu merayakan hari bersejarah itu. Sebagian besar dari
mereka sudah membawa koin-koin emas yang selama ini hanya disimpan di bawah
bantal. Setiap satu koin emas yang mereka simpan, mereka mendapatkan ganti uang
kertas dengan jaminan bila sewaktu-waktu mereka menghendaki, mereka bisa
menukarkan kembali uang kertas yang saat ini mereka terima dengan koin emas
yang pernah mereka simpan. Hampir semua
anggota suku Sukus menyimpan koin emas mereka di Bank Aya. Sejumlah 100.000
lembar uang kertas diserahkan, yang berarti Bank Aya -yang dimotori Gago dan
Sago- menerima 100.000 koin emas. Tak terasa, akhirnya penduduk negeri Pulau
Aya begitu menikmati uang kertas itu. Mereka merasakan dengan menggunakan uang
kertas itu, transaksi yang mereka lakukan jauh lebih simpel dan nyaman. Praktis semakin jarang orang yang menggunakan
koin emas dalam transaksi sehari-hari. Sampai akhirnya uang kertas menjadi mata
uang dominan. Kenapa mereka begitu? Karena selain lebih mumudahkan transaksi,
mereka juga dengan mudah menukarkan uang kertas mereka dengan koin emas jika
mereka memerlukan. Untuk yang satu ini, Gago dan Sago sangat menjaga
kepercayaan. Setiap kali ada yang mau menukarkan, kali itu juga koin emas
diberikan.
Demikian
seterusnya sehingga lama-lama orang tidak khawatir dengan uang kertas miliknya.
Toh kalau mereka mau, mereka bisa menukarkannya sepanjang waktu. Perkembangan ini ternyata menjadi berita di
mana-mana. Suku Tukus yang mendiami pulau Baya, diam-diam memuji dan ingin
sekali praktik yang sama juga diterapkan di pulau mereka. Bayangkan, dari
semula melakukan jual beli dengan cara barter, tiba-tiba ada sistem super canggih
yang bisa membantu mereka melakukan transaksi dengan sangat mudah dan
efisien. Tak sabar, mereka mengutus duta
menemui Gago dan Sago. Mereka minta agar sistem yang mereka bawa juga bisa
diterapkan di Pulau Baya. Gago menyanggupi. Dia meminta Sago untuk membuka
cabang Bank Aya di Pulau Baya dan mengangkat Sago sebagai manajernya. Hanya
bedanya, di sini hanya sedikit penduduknya yang memiliki koin emas.
"Anda
tidak perlu kecil hati," kata Sago menghibur. "Tanpa koin emas pun
Anda bisa mengenyam kenikmatan sebagaimana tetangga pulau Anda," dia
bernanis-manis menerangkan. Tentu saja keterangan ini disambut gembira oleh
penduduk Pulau Baya. Mulailah Sago membagikan uang kertas. Ada 100 kepala
keluarga di pulau itu. Setiap kepala keluarga diberikan 100 lembar uang. Jadi
total uang yang tcrsirkulasi di pulau itu mcncapai 100.000.
"Karena
Anda tidak menyimpan koin emas seperti halnya penduduk pulau seberang, sebagai
gantinya. Anda bisa menggunakan uang yang telah saya bagikan." Apa yang dikatakan Sago itu disambut dengan
senang. Tepuk tangan riuh membahana. Mereka bersyukur, sebentar lagi negeri
mereka tidak akan sekolot dan seprimitif tempo hari. Namun, kemeriahan itu
sempat hening ketika Sago menyela, "Harap diingat. Uang yang saya bagikan
tadi tidak gratis. Ini adalah pinjaman. Nanti setelah setahun dari saat ini,
Anda harus mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan."
"Kenapa
harus ada tambahan 100? Kenapa tidak mengembalikan sejumlah yang kami
pinjam?" seorang pemuka suku Tukus menyela.
"Betul
Anda memang hanya meminjam 1000. Yang 100 itu adalah untuk membayar jasa yang kami
sedikan," Sago dengan senyum lepas menjelaskan. Meski ada yang masih
mengganjal, penjelasan Sago cukup tepat untuk membungkam naluri kritis warga
Tukus. Itu terlihat dari tak surutnya minat warga Tukus untuk mengambil tawaran
Sago. Paling tidak, mereka bisa merasakan mudahnya bertransaksi dengan uang
kertas. Dan yang lebih penting lagi, menikmati status sebagai warga dunia baru,
Modern dan prestisius.
Dari
pengamatan Gago, di pulau Aya, rata-rata hanya sekitar 10 persen uang kertas
yang ditukarkan ke koin emas pada setiap waktu. Sisanya, 90 persen tetap berada
di kotak penyimpanan di Bank Aya.
Hanya
sedikit dari mereka yang menukarkan uang kertasnya dengan koin emas. Gago lalu
mencetak uang kertas lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung hingga 900.000.
Dalam kalkulasinya, jumlah ini, ditambah jumlah uang kertas yang telah
dibagikan sebelumnya, totalnya 1.000.000. Kalau ada orang yang datang hendak
menukarkan uang kertas ini, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah hanya 10
persen saja. Nah, kalau ini yang terjadi, bukankah ia menyimpan 100.000 koin
emas, yang tidak lain adalah koin yang telah disetor oleh seluruh penduduk
Sukus? Kalau hitung-hitungan pahit itu benar-benar terjadi, bukankah cadangan
koin emas yang diperlukan sudah cukup?
Fantastic! Creating Money from nothing! Hanya orang-orang seperti Gago yang
bisa. Ia pinjamkan 900.000 uang kertas yang baru dicetaknya kepada warga Sukus
yang memerlukan. Kalau di pulau Baya, Sago mengutip tambahan ekstra sebesar 10
persen dari pokok, nah Gago meningkatkan kutipan hingga 15 persen. Artinya
kalau seseorang meminjam 1000 lembar uang kertas. Di akhir tahun ia harus
mengembalikan 1150 uang kertas. Di mana 150-nya adalah charge dari layanan yang
diberikan.
Hari
pun berganti. Bulan berjalan begitu cepat. Tak terasa setahun pun lewat. Apa
yang terjadi dengan suku Sukus dan Tukus? Pelan tapi pasti. Penduduk pulau Aya
merasakan harga-harga kebutuhan barang dan jasa mereka naik. Mereka tidak tahu
apa penyebabnya. Banyak di antara orang yang meminjam uang dari Gago itu
mengalami gagal bayar. Mereka bukan orang pemalas atau penganggur. Tapi meski
telah bekerja keras, mereka masih kesulitan melunasi utang berikut bunganya.
Dan mereka memang tidak akan pernah bisa. Bahkan ketika mereka menjadikan 24
jam untuk bekerja. Lihatlah. Uang yang dipinjamkan 900.000 bila ditambah bunga
15 persen. Berarti senilai 135.000 atau jumlah total mencapai 1.135.000.
Padahal. Jumlah uang yang beredar banya 1.000.000 (100.000 diberikan sebagai
ganti 100.000 keping koin emas. Ditambah uang baru 900.000 yang dicetak
Gago).
Sistem
yang dikenalkan dua agen inilah yang pertama kali mengubah watak bisnis
kekeluargaan menjadi bisnis yang individual kompetitif. Kehidupan sosial mereka
yang harmonis, penuh toleransi dan tolong menolong, perlahan luntur.
Masing-masing kepala -apalagi yang berhutang- harus bekerja keras demi mengejar
uang untuk melunasi kewajibannya. Sehingga, ketika ada ombak besar menyapu
sebagian rumah penduduk. Kebiasaan mereka untuk saling bantu luntur, Prinsip
saling membantu berubah menjadi time is money. Membantu orang boleh, tapi harus
ada kompensasinya: uang. Sisi kehidupan sosial yang akrab perlahan berubah
individual. Masing-masing mulai terbebani untuk berusaha keras untuk
kepentingan masing-masing. Hal yang sama pun dialami oleh Suku Tukus. Awalnya
mereka tidak menyadari. Namun, lambat laun mereka merasakan perubahan.
Kebutuhan pokok yang dulunya cukup ditukar dengan barang kerajinan atau
sebaliknya, kini mulai sedikit bermasalah. Mereka tidak tahu kenapa tanpa
terasa, dengan berlalunya waktu, harga-harga terus merambat naik. Padahal,
mereka telah membanting tulang dan bekerja lebih keras. Kerjasama antar warga
yang semula menjadi tradisi, lama-kelamaan juga mulai luntur. Mereka menjadi
egois, diburu kebutuhan masing-masing. Toh di akhir tahun tidak semua bisa
membayar kewajibannya. Seperti dialami suku Sukus, suku Tukus pun anggotanya
banyak yang default alias gagal bayar. Kepada para penunggak sebagian ada yang
dipaksa membayar. Caranya, dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah,
ternak dan maupun harta benda lainnya pun segem berpindah tuan. Sementara
penunggak yang mempunyai hubungan baik dengan Gago dan Sago diberi kesempatan
untuk memperpanjang masa angsuran. Kebetulan Taka, pimpinan suku Tukus, salah
seorang di antara penunggak. Maka untuk atas nama "kebaikan hati"
Sago bukan saja memberikan tambahan waktu mengangsur utang. Tapi juga
memberikan tambahan utang baru. Kenapa? Dia beralasan utang ini biar bisa
dipakai untuk melancarkan kegiatan produktifnya. Namun alih-alih bisa membayar
periode berikutnya, Taka kembali tak bisa melunasi utangnya. Malu karena tak bisa membayar kewajiban, Taka
menarik diri dan menghindari bertemu dengan Sago. Ia mulai kehilangan
kepercayaan diri. Kewibawaannya sebagai kepala Suku Tukus berbalik ke titik
nadir. Sementara, Sago yang semula berlagak membantu, kini tinggal melakukan
eksekusi. Ia semakin kaya. Ia pun berubah lagaknya Tuan Besar.
Gago
dan Sago yang semula datang ke Aya dan Baya dengan modal mesin pencetak uang,
kini telah menjadi pemilik hampir semua kekayaan di dua pulau tersebut. Mereka
menguasai ekonomi dan properti. Lambat laun, dengan uang, mereka pun beroleh
kekuasaan baru: menguasai politik negeri itu.
Sementara masyarakat dua pulau itu tinggallah sebagai pekerja kasar.
Kemiskinan tiba-tiba seperti menjadi endemik yang terus menyebar cepat. Mereka
bekerja keras, untuk hasil yang sedikit. Mereka kehilangan waktu untuk saudara
dan tetangga. Mereka semakin jarang melakukan upacara keagamaan. Lebih parah
lagi, mereka semakin tidak perhatian satu sama lain. Kejahatan yang semula hanyalah cerita yang
sering mereka dengar dari negara antah berantah, kini menghampiri: marak di
depan hidung mereka sendiri. Karena tidak bisa bayar utang, mereka mengorbankan
anak dan bahkan istrinya untuk diperbudak. Prostitusi yang semula begitu tabu
bagi mereka, seperti menjadi budaya baru. Semua budaya yang datang dari Gago
dan Sago, dianggap superior. Budaya lokal pun lambat laun punah. Gago dan Sago
telah menguasai semua, tak ada yang tersisa: ekonomi, budaya, kekuasaan dan
keadilan yang bisa mereka beli melalui uang.
Namun ini bukan akhir petualangan mereka. Mereka tak hanya ingin
menaklukkan dua pulau Aya dan Baya. Mereka ingin semua pulau di dunia berada
dalam pengaruh kekuasaan mereka. Target mereka bukan untuk menaklukkan tentara
musuh di negara-negara jauh. Tapi, menaklukkan ekonomi mereka. Membuat mereka
terkesan, lalu ketika saatnya tiba, mencekik mereka dengan sekali hentak:
melalui uang kertas tanpa jaminan, aturan cadangan 10 persen dan bunga.
Dikutip
dari buku “Satanic Finance” karya A. Riawan Amin.
Diadaptasi
dari buku The Theft of Nations (2004) karangan Ahamad Kameel Mydin Meera


0 komentar:
Posting Komentar