... السلام عليكم

Senin, 12 Januari 2015

Islam Tidak Adil Terhadap Wanita!



http://quran.com/4/34
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.


Kau sudah tau aku tidak setuju dengan judul pikiran ini. Kerapkali orang mempertanyakan ketidakadilan quran/4/34 di atas. Kerapkali dipertanyakan oleh seorang non-muslim yang merasa iba dengan perlakuan muslim laki-laki terhadap muslim perempuan atas dasar ayat di atas.
Aku muslim dan aku perempuan. Aku merasa terlindungi atas ayat itu. Aku merasa ini keadilan, tapi ironisnya mereka yang bukan muslim bak pahlawan kesiangan berjuang membela kebebasan perempuan muslim dari terkaman muslim laki-laki.
Sejak aku tahu berdebat tanpa ilmu itu berbahaya, aku memilih untuk menghindari debat. Takut kalau-kalau saat berdebat, sebenarnya aku dalam keadaan tidak berilmu tentang apa yang diperdebatkan. Maka kupilih jalan diskusi, yaitu lebih bersifat informatif daripada menentang.
Sekadar sharing, perempuan non-muslim pernah menanyakan ayat itu kepadaku. Aku bilang, tidak tahu. Hanya tidak berani menafsirkan, tapi aku bisa mengarahkanmu kepada seorang ulama. Aku beri emailnya kamu mau? Dia bilang, tidak. Jelas tidak. Dia sebenarnya cuma ingin debat, bukan mencari tahu.
Pertama, dia bertanya tentang kedudukan wanita dalam islam. Disebutkan di ayat bahwa laki-laki adalah pemimpin. Dia merasa itu ketidakadilan dan menyergah. “Saya-lah yang akan memimpin rumah tangga saya nantinya!”
Kedua, dia bertanya, “Saya tidak setuju ayat itu! Laki-laki dapat memukul perempuan tapi perempuan tidak boleh memukul laki-laki? Itu tidak adil!”
Di sini tidak akan aku publikasikan gegabahnya perempuan itu bertanya dan gegabahnya aku menjawab. Tapi aku ingatkan bagi siapapun yang menanyakan ayat, ayat manapun itu. Ayat dari kitab suci manapun. Ketahui dulu latar belakang ayat tersebut. Jangan asal berdebat. “Makalah” yang baik punya latar belakang. J

A.  Asbabun Nuzul [2]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasan Al Basri berkata “Seorang wanita mendatangi Nabi SAW. dan mengadukan kepada beliau bahwa suaminya telah menamparnya. Beliau pun bersabda, “Balaslah sebagai khisashnya”. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)...” . maka wanita itu kembali ke rumah tanpa meng-qishashnya.
Ibnu Mardawih juga meriwayatkan bahwa Ali berkata “Seorang laki-laki dari Anshar mendatangi Nabi SAW dengan istrinya, lalu istrinya berkata “Wahai Rasulullah, suami saya ini telah memukul wajah saya hingga membekas.” Rasulullah pun bersabda “Seharusnya dia tidak perlu melakukannya”. Lalu Allah menurunkan firman-Nya,” laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)...” (An-Nisa’:34).

B.  Hubungan Dengan Ayat  Lain
Ayat 34 dari surat An-Nisa’ tidak menunjukkan bahwa asal usul pria lebih mulia dari asal usul wanita, tetapi menginformasikan bahwa di antara tugas kaum laki-laki itu adalah memimpin keluarga, sementara wanita tidak ditugasi tanggung jawab itu. Namun penganugerahan tugas tersebut tidak dapat dijadikan indikasi bahwa asal usulnya lebih mulia daripada asal-usul wanita.
Artinya :
“Para suami mempunyai derajat di atas para istri”[3]
Dan juga dalam surat An-Nisa’ ayat 128:
Artinya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyudz atau tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyudz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-nisa:128)[4].

C.   Kandungan Ayat Atau Tafsir
1.   Alasan laki-laki dijadikan pengurus bagi perempuan
Ada dua alasan Allah untuk  menjadikan laki-laki sebagai pengurus bagi perempuan, yaitu: pertama, karena pemberian. Dan kedua, karena pekerjaan. Sedang nashnya disebutkan dalam bentuk mubalaghoh “qawwamun”, untuk memberi isyarat betapa sempurnanya kepemimpinan dan kekuasaan suami atas isterinya, tak ubahnya kepala pemerintahan kepada rakyatnya. Karena itu suami berhak memerintah dan melarang, mengatur dan mendidik. Tetapi mereka juga mempunyai tanggung jawab besar dalam pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan.[5]
2.   Kelebihan laki-laki ini diungkap dengan kalimat “...lantaran Allah lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain...”, padahal seandainya dikatakan, “lantaran Allah lebihkan laki-laki atas perempuan”, sudah cukup singkat. Tetapi justru di sini diungkapkan sedemikian rupa karena ada suatu hikmah yang indah sekali, yaitu untuk menunjukkan bahwa antara wanita dan pria tak ubahnya dengan anggota suatu tubuh. Laki-laki adalah berkedudukan sebagai kepala, sedang perempuan berkedudukan sebagai badan. Karena itu tak layak kalau satu anggota itu merasa super terhadap anggota lainnya, sebab masing-masing mempunyai tugas dalam hidup.[6] Mengingat kenyataan yang demikian, tepat sekali apa yang digambarkan Al-Qur’an di dalam surat Al-Baqarah ayat 187:
Artinya :
 ... “Mereka (wanita) adalah pakaian bagimu, dan kamupun pakaian pula bagi mereka” ...
Jelas sekali di dalam ayat ini bahwa pria dan wanita, satu sama lain saling melengkapi dan saling membutuhkan. Tak pernah Al-Qur’an menyatakan yang satu lebih mulia dari yang lain.[7]
3.   wanita-wanita shalihah yang taat kepada suami mereka dan menjaga hubungan-hubungan yang biasa, berlaku antar mereka di waktu berdua-duaan, seperti rafats (hubungan badaniah) dan urusan–urusan khusus yang berkenaan dengan suami-istri. Mereka tidak mengizinkan seorang lelaki pun untuk melihat-lihat kepadanya, meski ia kerabatnya, dan lebih-lebih hendaknya memelihara kehormatan dari jamahan tangan, pandangan mata, atau pendengaran telinga yang khianat.[8]
Di dalam ayat ini terdapat nasihat yang sangat agung dan penghalang bagi kaum wanita untuk menyebarkan rahasia-rahasia suami istri.
Demikian pula kaum wanita, wajib memelihara harta kaum lelaki dan hal-hal yang berhubungan dengan itu dari kehilangan. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Baihaqi dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata:
خير النساء التي اذانظرت اليها سرتك,واذا امرتها اطا عتك واذا غبت عنها حفظتك في ما لك ونفسها
“Sebaik-baik istri ialah istri yang apabila engkau memandangnya maka ia menyenangkanmu, apabila engkau menyuruhnya maka ia mentaatimu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya maka ia akan memeliharamu terhadap hartamu dan dirinya.” lalu dibacakanlah ayat ini”.
Terhadap wanita semacam ini, suami tidak mempunyai kekuasaan untuk mendidiknya, karena tidak ada hal yang mengharuskan dia memberikan pendidikan padanya. Kekuasaannya adalah terhadap wanita macam kedua, yaitu yang difirmankan Allah sebagai berikut:
Wanita-wanita, yang kalian khawatiri akan bersikap sombong dan tidak menjalankan hak-hak suami-istri menurut cara yang kalian ridhoi, maka hendaknya kalian memperlakukan mereka dengan cara-cara sebagai berikut :
a.      Memberi nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik, sebagai difirmankan Allah: “maka nasehatilah mereka itu”. Inilah langkah pertama; nasehat. Dan inilah kewajiban pertama sebagai kepala rumah tangga. Ini adalah proses pendidikan yang harus dilakukannya dalam semua kondisi:
“hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka dan bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS.At-Tahrim:7)
Namun dalam kondisi ini sendiri, ia mengarah ke arah tertentu untuk tujuan tertentu. Yaitu menangani gejala-gejala kedurhakaan sebelum membesar dan tampak nyata.[9]
b.      Pisah ranjang dan tidak dicampuri. “dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur. Tetapi, di sini ada etika tertentu dalam melakukan langkah ini. Memisahkan isteri hanya di tempat tidur. Tidak boleh memisahkannya secara terang-terangan di luar tempat peraduan suami isteri. Tidak boleh memisahkannya di hadapan anak-anak, karena dapat mengganggu dan merusak pikiran mereka. Juga tidak boleh di hadapan orang asing yang merendahkan isteri atau mengusik harga dirinya sehingga akan membuatnya lebih durhaka. Padahal, tindakan ini dimaksudkan untuk mengobati kedurhakaannya, bukan untuk merendahkan isteri dan bukan pula untuk merusak anak-anak. Kedua tujuan tadilah yang diharapkan dari sikap ini.[10]
c.      Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak, dan sebagainya, yang tujuannya untuk menyadarkan.
Tentang masalah memukul ini, adalah sebagai yang dijelaskan Rasulullah saw dalam sabdanya:
فَإِنْ فَعَلْنَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ .
“Jika mereka(isteri) itu tetap berbuat (durhaka), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan
Ibnu ‘Abbas dan Atha’ berkata: pukulan yang tidak menyakitkan itu adalah dengan siwak. Sedang Qatadah berkata: yaitu pukulan yang tidak membuat cedera.[11]
Dalam hal ini bertemu pula sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Baihaqi, diriwayatkan dari Ummi Kultsum binti as-Shiddiq (saudara perempuan dari aisyah), bahkan memukul isteri itu hanya diperbolehkan oleh Nabi kalau amat terpaksa. Dalam  hal sangat terpaksa itu, ada yang menyampaikan kepada Rasulullah, maka Rasulullah bersabda:
وَلَنْ  يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ
 “Orang baik-baik diantara kamu, niscaya tidak akan memukul isterinya”.
Pendeknya, peraturan Tuhan itulah yang baik. Ada keizinan memukul kalau sudah sangat perlu, tetapi orang baik-baik berbudi tinggi, akan berupaya supaya memukul dapat dielakkan. Dan tidaklah benar sama sekali kalau memukul sama sekali tidak diizinkan, kalau laki-laki telah diakui Tuhan sebagai pemimpin.[12]
d.      Kalau ketiga jalan di atas sudah tidak berguna, maka dicari jalan dengan bertahkim, yaitu mengutus seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam lagi dari keluarga isteri.



[1] Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang :Toha Putra, 1986), 132.
[2] Jalaludin As-Suyuti, Asbabun Nuzul : Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an (Depok: Gema Insani, 2008),162-163.
[3] Nasrudin Baidan, Tafsir Bi Al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalan Al-Qur’an (Yogyakarta :Pustaka Pelajar,1999), 16.
[4] Ibid., 46.
[5] Ash-Sabuni,Tafsir Ayat Ahkam (Surabaya Bina Ilmu1983), 405.
[6] Ibid., 406.
[7] Baidan, Tafsir ..., 19.
[8] Al-Maraghi, Tafsir ..., 135.
[9] Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita (Jakarta : Pustaka Al-Kausar,2003), 428.
[10] Ibid., 429.
[11] Ash-Sabuni,Tafsir Ayat Ahkam ..., 409.
[12] Hamka,Tafsir Al-Azhar (Jakarta Pustaka Panjimas1983), 64-65.



Al-Barudi, Syaikh Imad ZakiTafsir WanitaJakarta : Pustaka Al-Kausar,2003.
Al-Maraghi, Ahmad MustofaTafsir Al-MaraghiSemarang : Toha Putra, 1986.
Baidan, Nasrudin. Tafsir Bi Al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalan Al-Qur’anYogyakarta : Pustaka Pelajar,1999.
Ash-Sabuni, Tafsir Ayat AhkamSurabaya Bina Ilmu1983.
As-Suyuti, JalaludinAsbabun Nuzul : Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’anDepok: Gema Insani, 2008.
Hamka. Tafsir Al-AzharJakarta Pustaka Panjimas1983.


Ngomong-ngomong, tentang pengalamanku membahas quran/4/34 dengan perempuan non-muslim itu, aku tergelitik untuk mempublikasikan sepenggal penjelasanku kepada perempuan itu perihal kedudukan dan peran.
Kedudukan pria dan wanita dalam Islam sama. Yang membedakan adalah ketakwaannya. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu” (Q.S al-Hujuraat [49]: 13).
Tapi pria dan wanita memiliki peran yang berbeda. Seperti halnya hukum alam, ada pemberi ada penerima. Saat pria berperan sebagai pemberi, pasti ada saat wanita berperan sebagai penerima. Misalnya, suami memberi nafkah, istri menerima nafkah. Tapi tetap, keduanya punya tanggung jawab. Tanggung jawab yang sama. Suami harus bertanggung jawab, seperti, nafkah yang bagaimana yang akan diberikan. Istri harus bertanggung jawab, seperti, bagaimana menjaga nafkah yang telah diterima. Tanggung jawab keduanya memiliki nilai yang sama.
Secara matematis, ini seperti pecahan ½ dengan 2/4. Keduanya bernilai sama. Sama seperti tanggung jawab. Suami istri tersebut memiliki tanggung jawab yang derajatnya sama, meskipun perannya berbeda. Peran mereka, menurut pecahan tersebut seperti angka 2. Pada ½, angka 2 berperan sebagai penyebut. Pada 2/4, angka 2 berperan sebagai pembilang. Jadi meskipun peran mereka terprogram secara berbeda, nilai peran mereka sama. Sama-sama bernilai 1/2. Bukankah ini fair? Pastinya iya. :D Tapi perempuan itu bilang, “Itu tidak masuk akal!”
Lalu aku beri dia link yang gambarnya ini.



Dr. Shabir Ally mengatakan, disebutkan dalam Qur'an perempuan sebanyak 24 kali dan laki-laki sebanyak 24 kali. (Referensinya ini. Jika tidak percaya, silahkan menghitungnya di Qur'an arab asli.) Aku suruh dia berpikir sejenak. Mungkinkah ini kebetulan? Kok bisa seorang yang tidak bisa membaca itu dapat menyusun Qur’an begitu detail? Dia enggan berpikir. Menyerbuku dengan beribu pertanyaan, berusaha mencari celah. Siapa juga yang mau berbicara dengan orang bertanya, dijawab tapi tidak didengarkan, didengar tapi tidak dipikirkan. “Bye, sister!” Semoga segera diberi petunjuk. Aamiin.

1 komentar:

Unknown on 8 Juli 2018 pukul 11.35 mengatakan...

Thank ilmunya :) semoga berkahhh





Terima kasih. Semoga bermanfaat.
... والسلامعليكم

Kacamata

 

Ardiarti Bangun Wijaya Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez