![]() |
| http://quran.com/4/34 |
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Kau sudah tau aku tidak setuju
dengan judul pikiran ini. Kerapkali orang mempertanyakan ketidakadilan quran/4/34
di atas. Kerapkali dipertanyakan oleh seorang non-muslim yang merasa iba dengan
perlakuan muslim laki-laki terhadap muslim perempuan atas dasar ayat di atas.
Aku muslim dan aku
perempuan. Aku merasa terlindungi atas ayat itu. Aku merasa ini keadilan, tapi ironisnya
mereka yang bukan muslim bak pahlawan kesiangan berjuang membela kebebasan
perempuan muslim dari terkaman muslim laki-laki.
Sejak aku tahu berdebat
tanpa ilmu itu berbahaya, aku memilih untuk menghindari debat. Takut kalau-kalau
saat berdebat, sebenarnya aku dalam keadaan tidak berilmu tentang apa yang
diperdebatkan. Maka kupilih jalan diskusi, yaitu lebih bersifat informatif
daripada menentang.
Sekadar sharing, perempuan non-muslim
pernah menanyakan ayat itu kepadaku. Aku bilang, tidak tahu. Hanya tidak berani
menafsirkan, tapi aku bisa mengarahkanmu kepada seorang ulama. Aku beri
emailnya kamu mau? Dia bilang, tidak. Jelas tidak. Dia sebenarnya cuma ingin
debat, bukan mencari tahu.
Pertama, dia bertanya
tentang kedudukan wanita dalam islam. Disebutkan di ayat bahwa laki-laki adalah
pemimpin. Dia merasa itu ketidakadilan dan menyergah. “Saya-lah yang akan
memimpin rumah tangga saya nantinya!”
Kedua, dia bertanya, “Saya
tidak setuju ayat itu! Laki-laki dapat memukul perempuan tapi perempuan tidak
boleh memukul laki-laki? Itu tidak adil!”
Di sini tidak akan aku publikasikan
gegabahnya perempuan itu bertanya dan gegabahnya aku menjawab. Tapi aku
ingatkan bagi siapapun yang menanyakan ayat, ayat manapun itu. Ayat dari kitab
suci manapun. Ketahui dulu latar belakang ayat tersebut. Jangan asal berdebat. “Makalah”
yang baik punya latar belakang. J
Ini aku dapat dari http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2013/11/asbabun-nuzul-kandungan-ayat-atau.html.
Harap diketahui.
A. Asbabun Nuzul [2]
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan bahwa Hasan Al Basri berkata “Seorang wanita mendatangi Nabi SAW.
dan mengadukan kepada beliau bahwa suaminya telah menamparnya. Beliau pun
bersabda, “Balaslah sebagai khisashnya”. Lalu Allah menurunkan firman-Nya, “laki-laki
(suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)...” . maka wanita itu kembali
ke rumah tanpa meng-qishashnya.
Ibnu Mardawih juga meriwayatkan
bahwa Ali berkata “Seorang laki-laki dari Anshar mendatangi Nabi SAW dengan istrinya,
lalu istrinya berkata “Wahai Rasulullah, suami saya ini telah memukul wajah
saya hingga membekas.” Rasulullah pun bersabda “Seharusnya dia tidak perlu
melakukannya”. Lalu Allah menurunkan firman-Nya,” laki-laki (suami) itu
pelindung bagi perempuan (istri)...” (An-Nisa’:34).
B. Hubungan Dengan Ayat Lain
Ayat 34 dari surat
An-Nisa’ tidak menunjukkan bahwa asal usul pria lebih mulia dari asal usul
wanita, tetapi menginformasikan bahwa di antara tugas kaum laki-laki itu adalah
memimpin keluarga, sementara wanita tidak ditugasi tanggung jawab itu. Namun
penganugerahan tugas tersebut tidak dapat dijadikan indikasi bahwa asal usulnya
lebih mulia daripada asal-usul wanita.
Artinya :
“Para suami mempunyai derajat di atas para istri”[3]
Dan juga dalam surat An-Nisa’ ayat 128:
Artinya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyudz atau
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan
istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyudz dan sikap tak acuh),
maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-nisa:128)[4].
C. Kandungan Ayat Atau Tafsir
1.
Alasan
laki-laki dijadikan pengurus bagi perempuan
Ada dua alasan Allah
untuk menjadikan laki-laki sebagai pengurus bagi perempuan, yaitu: pertama,
karena pemberian. Dan kedua, karena pekerjaan. Sedang nashnya
disebutkan dalam bentuk mubalaghoh “qawwamun”, untuk memberi isyarat betapa
sempurnanya kepemimpinan dan kekuasaan suami atas isterinya, tak ubahnya kepala
pemerintahan kepada rakyatnya. Karena itu suami berhak memerintah dan melarang,
mengatur dan mendidik. Tetapi mereka juga mempunyai tanggung jawab besar dalam
pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan.[5]
2.
Kelebihan
laki-laki ini diungkap dengan kalimat “...lantaran Allah lebihkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain...”, padahal seandainya dikatakan, “lantaran
Allah lebihkan laki-laki atas perempuan”, sudah cukup singkat. Tetapi justru di
sini diungkapkan sedemikian rupa karena ada suatu hikmah yang indah sekali,
yaitu untuk menunjukkan bahwa antara wanita dan pria tak ubahnya dengan anggota
suatu tubuh. Laki-laki adalah berkedudukan sebagai kepala, sedang perempuan
berkedudukan sebagai badan. Karena itu tak layak kalau satu anggota itu merasa
super terhadap anggota lainnya, sebab masing-masing mempunyai tugas dalam
hidup.[6] Mengingat kenyataan yang demikian, tepat sekali apa yang
digambarkan Al-Qur’an di dalam surat Al-Baqarah ayat 187:
Artinya :
... “Mereka
(wanita) adalah pakaian bagimu, dan kamupun pakaian pula bagi mereka” ...
Jelas sekali di dalam
ayat ini bahwa pria dan wanita, satu sama lain saling melengkapi dan saling
membutuhkan. Tak pernah Al-Qur’an menyatakan yang satu lebih mulia dari yang
lain.[7]
3.
wanita-wanita shalihah yang taat kepada suami mereka
dan menjaga hubungan-hubungan yang biasa, berlaku antar mereka di waktu
berdua-duaan, seperti rafats (hubungan badaniah) dan urusan–urusan khusus yang
berkenaan dengan suami-istri. Mereka tidak mengizinkan seorang lelaki pun untuk
melihat-lihat kepadanya, meski ia kerabatnya, dan lebih-lebih hendaknya
memelihara kehormatan dari jamahan tangan, pandangan mata, atau pendengaran
telinga yang khianat.[8]
Di dalam ayat ini
terdapat nasihat yang sangat agung dan penghalang bagi kaum wanita untuk
menyebarkan rahasia-rahasia suami istri.
Demikian pula kaum
wanita, wajib memelihara harta kaum lelaki dan hal-hal yang berhubungan dengan
itu dari kehilangan. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Baihaqi dari Abu
Hurairah, bahwa ia berkata:
خير النساء التي اذانظرت اليها سرتك,واذا
امرتها اطا عتك واذا غبت عنها حفظتك في ما لك ونفسها
“Sebaik-baik istri ialah istri yang apabila engkau
memandangnya maka ia menyenangkanmu, apabila engkau menyuruhnya maka ia
mentaatimu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya maka ia akan memeliharamu terhadap
hartamu dan dirinya.” lalu dibacakanlah ayat
ini”.
Terhadap wanita semacam ini, suami tidak mempunyai
kekuasaan untuk mendidiknya, karena tidak ada hal yang mengharuskan dia
memberikan pendidikan padanya. Kekuasaannya adalah terhadap wanita macam kedua,
yaitu yang difirmankan Allah sebagai berikut:
Wanita-wanita, yang kalian khawatiri akan bersikap
sombong dan tidak menjalankan hak-hak suami-istri menurut cara yang kalian
ridhoi, maka hendaknya kalian memperlakukan mereka dengan cara-cara sebagai berikut :
a.
Memberi
nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik, sebagai
difirmankan Allah: “maka nasehatilah mereka itu”. Inilah langkah
pertama; nasehat. Dan inilah kewajiban pertama sebagai kepala rumah tangga. Ini
adalah proses pendidikan yang harus dilakukannya dalam semua kondisi:
“hai orang-orang yang
beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka dan bahan bakarnya
adalah manusia dan batu” (QS.At-Tahrim:7)
Namun dalam kondisi ini
sendiri, ia mengarah ke arah tertentu untuk tujuan tertentu. Yaitu menangani
gejala-gejala kedurhakaan sebelum membesar dan tampak nyata.[9]
b.
Pisah
ranjang dan tidak dicampuri. “dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat tidur”.
Tetapi, di sini ada etika tertentu dalam melakukan langkah ini. Memisahkan
isteri hanya di tempat tidur. Tidak boleh memisahkannya secara terang-terangan
di luar tempat peraduan suami isteri. Tidak boleh memisahkannya di hadapan
anak-anak, karena dapat mengganggu dan merusak pikiran mereka. Juga tidak boleh
di hadapan orang asing yang merendahkan isteri atau mengusik harga dirinya
sehingga akan membuatnya lebih durhaka. Padahal, tindakan ini dimaksudkan untuk
mengobati kedurhakaannya, bukan untuk merendahkan isteri dan bukan pula untuk
merusak anak-anak. Kedua tujuan tadilah yang diharapkan dari sikap ini.[10]
c.
Pukulan
yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak, dan sebagainya, yang
tujuannya untuk menyadarkan.
Tentang masalah memukul
ini, adalah sebagai yang dijelaskan Rasulullah saw dalam sabdanya:
فَإِنْ فَعَلْنَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا
غَيْرَ مُبَرِّحٍ .
“Jika mereka(isteri) itu tetap berbuat (durhaka), maka
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan”
Ibnu ‘Abbas dan Atha’ berkata: pukulan yang tidak
menyakitkan itu adalah dengan siwak. Sedang Qatadah berkata: yaitu pukulan yang
tidak membuat cedera.[11]
Dalam hal ini bertemu pula sebuah hadits yang
dirawikan oleh al-Baihaqi, diriwayatkan dari Ummi Kultsum binti as-Shiddiq
(saudara perempuan dari aisyah), bahkan memukul isteri itu hanya diperbolehkan
oleh Nabi kalau amat terpaksa. Dalam hal sangat terpaksa itu, ada yang
menyampaikan kepada Rasulullah, maka Rasulullah bersabda:
وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ
“Orang baik-baik diantara kamu, niscaya tidak
akan memukul isterinya”.
Pendeknya, peraturan Tuhan itulah yang baik. Ada
keizinan memukul kalau sudah sangat perlu, tetapi orang baik-baik berbudi
tinggi, akan berupaya supaya memukul dapat dielakkan. Dan tidaklah benar sama
sekali kalau memukul sama sekali tidak diizinkan, kalau laki-laki telah diakui
Tuhan sebagai pemimpin.[12]
d.
Kalau
ketiga jalan di atas sudah tidak berguna, maka dicari jalan dengan bertahkim,
yaitu mengutus seorang hakam dari keluarga suami, dan seorang hakam lagi dari
keluarga isteri.
[1] Ahmad Mustofa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang :Toha Putra,
1986), 132.
[2] Jalaludin As-Suyuti, Asbabun
Nuzul : Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an (Depok: Gema Insani, 2008),162-163.
[3] Nasrudin Baidan, Tafsir
Bi Al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalan Al-Qur’an (Yogyakarta
:Pustaka Pelajar,1999), 16.
[4] Ibid., 46.
[5] Ash-Sabuni,Tafsir Ayat Ahkam (Surabaya : Bina Ilmu, 1983), 405.
[6] Ibid., 406.
[7] Baidan, Tafsir ..., 19.
[8] Al-Maraghi, Tafsir ..., 135.
[9] Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir
Wanita (Jakarta : Pustaka Al-Kausar,2003), 428.
[10] Ibid., 429.
[11] Ash-Sabuni,Tafsir Ayat Ahkam ..., 409.
[12] Hamka,Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983), 64-65.
Al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. Tafsir Wanita. Jakarta : Pustaka
Al-Kausar,2003.
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Tafsir Al-Maraghi. Semarang : Toha Putra, 1986.
Baidan, Nasrudin. Tafsir Bi Al-Ra’yi, Upaya
Penggalian Konsep Wanita Dalan Al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1999.
Ash-Sabuni, Tafsir Ayat Ahkam. Surabaya : Bina Ilmu, 1983.
As-Suyuti, Jalaludin. Asbabun Nuzul : Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Depok: Gema Insani, 2008.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.
Ngomong-ngomong, tentang pengalamanku membahas quran/4/34
dengan perempuan non-muslim itu, aku tergelitik untuk mempublikasikan sepenggal
penjelasanku kepada perempuan itu perihal kedudukan dan peran.
Kedudukan pria dan wanita dalam Islam sama. Yang
membedakan adalah ketakwaannya. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu” (Q.S al-Hujuraat [49]: 13).
Tapi pria dan wanita
memiliki peran yang berbeda. Seperti halnya hukum alam, ada pemberi ada
penerima. Saat pria berperan sebagai pemberi, pasti ada saat wanita berperan
sebagai penerima. Misalnya, suami memberi nafkah, istri menerima nafkah. Tapi
tetap, keduanya punya tanggung jawab. Tanggung jawab yang sama. Suami harus
bertanggung jawab, seperti, nafkah yang bagaimana yang akan diberikan. Istri
harus bertanggung jawab, seperti, bagaimana menjaga nafkah yang telah diterima.
Tanggung jawab keduanya memiliki nilai yang sama.
Secara matematis, ini
seperti pecahan ½ dengan 2/4. Keduanya bernilai sama. Sama seperti tanggung
jawab. Suami istri tersebut memiliki tanggung jawab yang derajatnya sama,
meskipun perannya berbeda. Peran mereka, menurut pecahan tersebut seperti angka
2. Pada ½, angka 2 berperan sebagai penyebut. Pada 2/4, angka 2 berperan
sebagai pembilang. Jadi meskipun peran mereka terprogram secara berbeda, nilai
peran mereka sama. Sama-sama bernilai 1/2. Bukankah ini fair? Pastinya iya. :D Tapi perempuan itu
bilang, “Itu tidak masuk akal!”
Lalu aku beri dia link yang
gambarnya ini.
Dr. Shabir Ally mengatakan, disebutkan dalam Qur'an perempuan sebanyak 24 kali dan laki-laki sebanyak 24 kali. (Referensinya ini. Jika tidak percaya, silahkan
menghitungnya di Qur'an arab asli.) Aku suruh dia berpikir sejenak. Mungkinkah
ini kebetulan? Kok bisa seorang yang tidak bisa membaca itu dapat menyusun Qur’an
begitu detail? Dia enggan berpikir. Menyerbuku dengan beribu pertanyaan,
berusaha mencari celah. Siapa juga yang mau berbicara dengan orang bertanya,
dijawab tapi tidak didengarkan, didengar tapi tidak dipikirkan. “Bye, sister!”
Semoga segera diberi petunjuk. Aamiin.



1 komentar:
Thank ilmunya :) semoga berkahhh
Posting Komentar