Kita
mulai dengan falsafah Jawa ...
“Wong
Jawa yen dipangku mati.”
Yaitu,
orang yang jika dipuji tidak kreatif, dimanja tidak produktif, dicela mati kutu. Istilah gampangnya, dipuji terbang, dicaci tumbang. Ini bisa dipakai sebagai sindiran halus bagi mereka yang mengidolakan seseorang, lantas apa-apa yang dilakuin seseorang itu baik di matanya. So, guys, kalau “memangku” orang, jangan membuatnya “mati”.
Kita harus buka mata.
Kalau baik ya bilang baik, kalau tidak jangan bilang tidak tapi diperbaiki.
orang yang jika dipuji tidak kreatif, dimanja tidak produktif, dicela mati kutu. Istilah gampangnya, dipuji terbang, dicaci tumbang. Ini bisa dipakai sebagai sindiran halus bagi mereka yang mengidolakan seseorang, lantas apa-apa yang dilakuin seseorang itu baik di matanya. So, guys, kalau “memangku” orang, jangan membuatnya “mati”.
Kita harus buka mata.
Kalau baik ya bilang baik, kalau tidak jangan bilang tidak tapi diperbaiki.
Intinya,
jangan tanamkan falsafah Jawa di atas.
Sebaiknya
sebaliknya,
bedakan
huruf Jawa dengan orang Jawa dalam dirimu.
“Huruf
Jawa yen dipangku mati, wong Jawa yen dipangku nglenggana.” (Diyono
: 2014)
Artinya,
huruf Jawa jika dipangku mematikan aksara, sedangkan orang Jawa jika “dipangku”
(dipuji atau dicela) memperhatikan tata krama, unggah-ungguh, sopan santun,
menempatkan diri sesuai porsinya.
Ya.
Huruf jawa jika dipangku memang mati. Tapi kamu bukan huruf
Jawa.
Kamu orang Jawa. Jadi, cukuplah huruf Jawa yang dipangku mati, wong Jawa
jangan.
Mari
menempatkan diri. Mangga nglenggana.


0 komentar:
Posting Komentar