Ini kuketik dengan menggebu-gebu. Jadi agak njelimet dan mungkin kamu akan jenuh
membacanya.
Bahkan
untuk ngepost tulisan ini pun aku berpikir beberapa kali lipat. Takut salah.
Takut menyalahkan.
Menulis,
mengucapkan, menyampaikan dengan cara apapun, semua itu akan dimintai
pertanggungjawaban. Sebab sekecil apapun akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya.
Pemimpin :
“Pemimpin
suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka.” (HR. Abu Na'im)
Seorang
imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.
Seorang
suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Seorang
isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya.
Seorang
pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya.
Seorang
anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya.”
(HR.
Bukhari dan Muslim)
Cara memilih pemimpin :
1.
Musyawarah
Dalam surat Ali 'Imran (3) ayat 159, yang artinya
“Maka
disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka.
Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
(tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.”
2. Voting (pengambilan suara terbanyak)
Ini dilakukan
kalau musyawarah benar-benar tidak memungkinkan.
“Sesungguhnya
umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Karena itu jika terjadi perselisihan
maka ikutilah suara terbanyak.” (HR. Anas bin Malik)
Syarat utama pemimpin, menurutku :
1. Islam
Kalau tidak Islam, berarti ia sudah
lebih dulu mengikuti jalan yang salah. Sementara, jalan hidup pemimpinku tidak
boleh salah. Bukankah manusia tempatnya salah? Ya salahnya jangan yang fatal
gitu dong. Orang jelas bisa salah, tapi jalan hidup (agama) harus lurus
(benar). Karena aku pribadi tidak mau, tidak ingin, dan jangan sampai mengikuti
orang (pemimpin) yang berjalan di atas jalan yang salah. Dengan terpilihnya
seorang muslim jadi pemimpin, aku harap hukum-hukum Islam terlaksana dengan
baik dan tidak dianggap remeh. Sebab apa yang diatur oleh kebenaran pastilah
benar. Sedangkan, hanya ajaran Islam yang benar dan pasti baik. Jika benar tapi
tidak baik, pasti tidak benar. Karena benar harus sudah pasti baik. Jika baik
tapi tidak benar, banyak, dan yang pasti bukan ajaran Islam. Nah! Bingung?
Muslim yang zalim sama non-muslim yang
adil, pilih mana? Aku pilih keadilan. Tapi, ya, yang namanya muslim kok zalim
sih. Muslim harus (-nya) lurus. Paling enggak selalu berusaha mengikuti
jalannya yang lurus. Kalau orangnya muslim, seluruh perbuatannya zalim? It
means he is not the real muslim I guess. Tau sendiri kan, iman itu diyakini
dalam hati, diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan perbuatan. Action juga,
bro!
Bagaimana kalau semua kandidat muslim?
Mudah saja. Pilih yang terbaik.
Ada, yang bilang kalau boleh memilih
non-muslim sebagai pemimpin dengan pertimbangan tertentu. Dan aku gak bisa
bilang boleh atau tidak. Seperti yang telah aku katakan, tentu pemimpin harus dan
seharusnya muslim. Pemimpin harus seorang pengikut kebenaran, sementara kebenaran
tertinggi adalah Islam, sedangkan Allah bilang agama (nasehat) yang benar dan
sempurna adalah Islam. Maka tidak ada tawaran.
Berikut terjemah ayat-ayat al-Qur’an tentang
pemimpin. Cuma menyampaikan.
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin,
melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak
akan memperoleh apapun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari
sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri
(siksa)-Nya dan hanya kepada Allah tempat kembali.”
(Terjemah Surat Aali 'Imraan ayat
28)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian
mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.”
(Terjemah
Surat Al Maa’idah ayat 51)
Ini
bukan masalah sejenis rasis. Ini bukan masalah kebebasan memilih dan dipilih.
Ini bukan masalah terlalu religius fanatik atau ekstremis. Ini anugerah seorang
muslim... menjalani dan menjalankan Islam.
Islam
adalah rahmatan lil ‘alamin. Seluruh alam, bro! Bukan cuma buat orang berlabel
Islam. So, ajaran-ajaran Islam pasti bermanfaat untuk seluruh alam. Gak
mungkin, kan, Allah memerintahkan (atau lebih indahnya, memberi petunjuk)
kepada kita tentang sesuatu yang gak bermanfaat? Gak mungkin Allah menyuruh
kita memilih pemimpin yang dari golongan sendiri tanpa suatu alasan. Ada
alasan. Apa alasannya, kuncinya pada akal. Jadilah kita termasuk orang-orang
yang berpikir. Jangan berdalih demokrasi, pluralisme, dan sebagainya untuk menyangkal
firman Tuhan. Di undang-undang kan tidak ada kewajiban buat milih golongan
sendiri? Undang-undang buatan siapa, Al-Qur’an dari siapa. Lagipula, sila
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jalani ajaran agama masing-masing. Nah,
mengamalkan ajaran Islam itulah kewajiban seorang muslim sebagai bentuk
pengamalan sila pertama juga.
Misal
atau kenyataan, kamu cewek, berjilbab, atas dasar apa kamu berjilbab? Kalau kamu
njalanin an-Nur 31 tapi mengabaikan al-Ma’idah 51, apakah fair?
Masak njalanin
agama setengah-setengah?
Masak
jadi orang setengah-setengah?
Masak
pake baju setengah-setengah? Usahain all out, dong! Bukan setengah hati.
Btw,
soal setengah-setengah, jadi inget video ini...hihi.
Rasulullah saw berwasiat kepada para sahabat,
"Wahai sahabatku, apabila saat ini kalian mengurangi
waktu kalian untuk agama Allah sepersepuluh saja, niscaya nushratullah
(pertolongan Allah) tidak akan turun, kalian harus mengamalkan agama secara
keseluruhan, Tetapi ummatku pada akhir zaman nanti, jika mereka rela
meluangkan waktunya sepersepuluh saja untuk agama Allah, maka nushratullah akan
segera turun." (HR.Tirmidzi)
2. Bukan
wanita
“Tidak
akan sukses suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin.” (HR.
Bukhari)
Oke.
Tidak bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan dari sisi rohani, sebab
Allah yang menilai tentang itu. Tapi dari sisi psikis dan jasmaniahnya? Who
knows.
Di
sini aku pakai kata wanita untuk perempuan, dan pria untuk laki-laki biar gak
ada kesan membeda-bedakan keduanya. Karena pria dan wanita lebih menunjukkan
kedewasaan (pemimpin harus dewasa), sedangkan laki-laki dan perempuan lebih
mengarah ke gender atau jenis kelamin (belum tentu dewasa). Kenapa gak
cewek-cowok? .-.
Wanita memiliki karakteristik yang
berbeda dengan pria. Tentu saja. Pria memiliki kelebihan yang tidak dimiliki wanita,
begitupun wanita memiliki kelebihan yang tidak dimiliki pria. Dan menurutku, salah satu kelebihan pria adalah
dalam hal kepemimpinan. Wanita tidak lebih baik dalam memimpin dibanding pria.
Dari pengalaman, yang aku lihat, suatu kaum yang dipimpin oleh wanita
kebanyakan kurang berhasil. Entah kenapa. Tapi bukan berarti pria lebih unggul
daripada wanita. Keduanya saling melengkapi. Yang paling unggul adalah yang
paling baik menurut Allah. J Ialah orang yang paling bertakwa, bukan pria atau wanita.
Dari sudut pandang psikologi atau
kejiwaan (ceileh), wanita lebih emosional daripada rasional. Wanita berpikir dengan
perasaan, mudah dipengaruhi oleh suasana. Jadi, wanita cenderung banyak yang dipertimbangkan
dan akan memakan waktu yang lama dalam mengambil keputusan serta kurang berani
ambil resiko yang besar. Sedangkan, pria lebih bisa menahan emosi dan lebih
bisa bersikap tenang. Pria jauh bisa lebih tegas daripada wanita. Pria memiliki kematangan yang lebih dalam berpikir rasional
saat pengambilan suatu keputusan. Lagipula, ada faktor biologis wanita yang
muncul setiap bulan yang juga menghambat untuk kepemimpinan. Haid menjadikan
wanita kurang mampu mengambil keputusan penting. Tau sendiri, kan, bagaimana
wanita saat datang bulan J Maka
boleh dikatakan bahwa aku akan setuju dengan pendapat mantan menteri kesehatan
Negeri Matahari Terbit, Yoichi Masuzoe. Dia tegas bilang bahwa wanita jadi tidak rasional saat sedang
menstruasi. "Mereka menjadi tidak normal, emosional, dan aneh saat tamu
bulanan terjadi. Anda tidak akan membiarkan mereka membuat keputusan penting
soal negara jika mereka terpilih," ujarnya. Selain itu, ada alasan lain, bisa di-Google dengan keyword
“Menstruasi Membuat Wanita Jadi Bodoh”. Bukan bikin bodoh. Cuma bodoh
sementara. Bodoh tiap bulan aja. Haha. Ini penggalan dari salah satu artikelnya...
“...sebuah
penelitian baru menyimpulkan bahwa sakit menstruasi membuat penderitanya kurang
cerdas.
Para
peneliti asal Inggris ini menemukan bahwa sakit yang dirasakan mengurangi
kinerja kognitif. Para peneliti dari Universitas Bath menemukan bahwa wanita
yang menderita sakit menstruasi mengerjakan tes berbasis komputer dengan kurang
baik dan rentang perhatian mereka juga terganggu.
Pemimpin
penelitian Dr Ed Keogh, dari Jurusan Psikologi, Universitas Bath berkata, “Rasa
sakit adalah sebuah pengalaman yang sangat umum dan bisa memiliki efek
mengganggu terhadap aktivitas kita sehari-hari. Para peneliti kami melihat
bahwa rasa sakit yang umum dialami banyak wanita setiap bulannya, mempengaruhi
kemampuan mereka dalam melakukan tugas-tugas yang kompleks. Hal ini menunjukkan
efek dari rasa sakit melebihi pengalaman sensoris, mempengaruhi apa yang kita
pikirkan dan rasakan.”...”
Hadeh, jangan bilang nanti ada suatu teknologi untuk
mempercepat menopause, atau menghentikan haid sementara. Atau berdalih khusus
wanita di atas 50 tahunan yang tidak terlalu tua, yang sudah menopause,
boleh-boleh saja memimpin. Sukanya mencari-cari celah. Oh, manusia. It’s
innovation. Aku jadi ingat kalimat ini dari teman kenalanku, “they find the excuse that made them
sacular”
Lagian, sudah digariskan oleh-Nya pria
diciptakan untuk menjadi pemimpin bagi wanita. Wanita adalah partner pria. Dan
sudah kodratnya, untuk segi tertentu langkah seorang wanita tidak sepanjang
langkah seorang pria.
Tapi, tapi, tapi... bukan berarti
seorang wanita tidak bisa menjadi pemimpin. Hanya saja, diibaratkan kayak
shalat, selama jamaah masih ada pria kenapa harus wanita yang jadi imam?
Lagipula, jika diibaratkan kayak shalat juga, tidak mungkin jamaah bisa sholat
tiap hari kalau sang imam yang wanita itu harus menerima tamu tiap bulan :D
Ngomong-ngomong, kayaknya mudah ya memahami kepemimpinan umpama suatu sholat
berjamaah.
Nah kalau waria? Orang yang
menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum itu. Kalau dia bertingkah
seperti perempuan, ya sudah. Anggap aja :D Toh, tau sendiri, cuma ada 2 gender
di muka bumi ini. So, ga usah dilebih-lebihkan. Kecuali, kata salah seorang
saudariku, apabila suatu jamaah tidak ada laki-laki tapi ada laki-laki yang
menyerupai wanita (waria), maka si waria lebih baik jadi pemimpin daripada
wanita. Lagian kan masalah ke-waria-an itu masalah mental, tidak mengubah
tabiatnya sebagai lelaki.
3. Tidak
ambisius terhadap suatu jabatan
“Kami tidak mengangkat orang yang berambisi
berkedudukan.” (HR. Muslim)
Orang yang berambisi menjadi pemimpin
suatu kaum, banyak. Tapi lihatlah, sedikit sekali pemimpin yang terpilih jadi
pemimpin karena kaumnya yang meminta dengan alasan bijak mereka memilih dia. Mungkin
karena jaman sekarang sedikit sekali orang tak berambisi kedudukan yang pantas
berkedudukan. Bayangkan kalau ada pemimpin ambisius pada jabatan tapi kaumnya
tidak menyukainya, tentu sulit untuk meraih tujuan yang hendak dicapai. Bahkan
malah menjadi beban bagi pemimpin itu. Pemerintahan kan butuh koordinasi antara
pemimpin dengan kaumnya.
Rasulullah S.a.w berkata kepada Abdurrahman
bin Samurah, "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut
suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan
menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu
akan ditolong mengatasinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Kasih sayang
Pastikan
seorang pemimpin, entah pemimpin rumah tangga atau pemimpin dunia sekalipun,
adalah seorang penyayang, terutama penyayang anak-anak. Enggak tau kenapa, laki-laki
yang sayang atau suka anak-anak itu ada sesuatunya. Mereka kelihatan cool ketika bermesraan sama anak atau
binatang atau alam, juga ketika mereka respect sama perempuan.
“Bersikaplah yang baik
terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian
yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika
engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun,
jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik
terhadap wanita.”
(HR. Bukhari no. 5184)
Cinta
dalam diri seseorang untuk seseorang terbatas pada seseorang. Anak kecil yang belum
baligh, mereka adalah makhluk yang tak kenal dosa, belum paham betul arti dosa.
Kalau sama yang tak begitu kenal dosa aja tidak mengasihi dan menyayangi,
apalagi sama orang yang sudah dewasa fisik sehat akal? Gak banget kalau
memenuhi kasih sayang pada orang yang telah banyak berdosa, tapi pada anak
kecil tidak ada kasih sayang.
Al-Aqraa bin harits melihat Rasulullah SAW.
mencium Al-Hasan r.a. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai sepuluh
orang anak, tetapi aku belum pernah mencium mereka.” Rasulullah bersabda, “Aku
tidak akan mengangkat engkau sebagai seorang pemimpin apabila Allah telah
mencabut rasa kasih sayang dari hatimu. Barang siapa yang tidak memiliki rasa
kasih sayang, niscaya dia tidak akan disayangi.”
Tuh, yang tak punya kasih sayang, tidak akan
disayangi. Bagaimana pemimpin otoriter/ diktator mau disayang rakyatnya kalau
dia sendiri tidak punya kasih sayang.
Sebenarnya masih banyak yang bisa
ditambahkan. Sayangnya terlalu luas kalau mengutarakan seluruh uneg-uneg
tentang kepemimpinan. Begini saja cukup ajalah. Maaf kalau gak suka atau gak
paham sama kata-kataku. Ini aku, ini bebasku. J
Dulu, banyak orang sangat
mempermasalahkan mengapa harus pria yang jadi pemimpin. Lalu digembar-gemborkan
hak-hak wanita. Hak asasi manusia. Kini emansipasi wanita berdiri tegak. Sangat
tegak. Sampai-sampai dari beberapa kasus aku hampir tidak bisa membedakan
siapakah kepala keluarga. Hampir tidak menemukan manfaat perbedaan gender. Sekarang,
aku merasa banyak orang mempermasalahkan hal yang lebih tinggi soal
kepemimpinan. Agama. Tentang mengapa pemimpin harus muslim. Padahal ini
perintah Yang Maha Agung. Artinya, ini suatu kewajiban bagi kita yang mengaku
beragama Islam.
“Akan terlepas
(kelak) ikatan (kekuatan) Islam, ikatan demi ikatan. Setiap kali terlepas satu
ikatan maka orang-orang akan berpegangan kepada yang lainnya. Yang pertama kali
terlepas ialah hukum dan yang terakhir adalah shalat.”
(HR. Ahmad dan Al Hakim)
Allah, petunjuk-Mu,
ya Allah. Kami mohon.

0 komentar:
Posting Komentar